vendredi, février 24, 2006

Mawar Shakespeare

Aha....Hari ini tetap 4 bulan saya absen menulis di blog ini. Memang tepat rasanya saya memilih nama jarangtulis sebagai judul blog...hehehhe... Setidaknya bisa jadi tameng atau alasan klise kalau ada yang menodong kapan mau update blog.

Selain kesibukan (another classic excuse), rasanya saluran ide saya lagi mampet belakangan ini. Mungkin sudah penuh dengan segala macam urusan rumah dan kantor. Naaah, mumpung sudah mau closing project, tidak ada salahnya saluran itu dikuras agar mengalir ide-ide baru.

Di salah satu milis yang saya ikuti, sedang ada perdebatan seru serasa di padang kurusetra mengenai isu MMR dan antibiotika. Namun tenang saja, saya tidak akan bahas itu di blog kali ini, karena pastinya akan membawa kita ke debat berkepanjangan tanpa akhir (terbukti dari membludaknya e-mail dari milis tersebut tentang bahasan itu minggu ini). Ada satu topik ringan yang dilontarkan yang akhirnya jadi seperti penyejuk suasana yang agak sensitif, yaitu tentang nama keluarga.

Saya jadi teringat kala muda dulu, ketika teman2 di sekolah keheranan saat mereka tahu saya tidak punya nama keluarga. Kebetulan waktu itu ada kesempatan sekolah di luar Indonesia. Argumen mereka, bagaimana tukang pos bisa menemukan alamat kalian? Dalam hati saya bergumam, kok repot amat siy, kan dah ada alamat jelas, kode pos, RT RW, de el el. Gak mungkin kesasar deh...

Ternyata keheranan itu masih berlanjut hingga kini. Entah mengapa, mungkin mereka itu masih belum ngeh bahwa ada budaya lain di luar budaya mereka, yang tidak mengenal tradisi memberi nama keluarga. And life can go on without that..

Balik ke topik di milis tersebut, karena kebetulan ringan dan lucu, ada lebih dari 20 posting yang menanggapi hal itu. Hehehe...ternyata yang ringan belum tentu kalah saingan dengan topik yang berat. Bukan begitu, Dok?

Kebanyakan dari tanggapan ternyata memang memilih untuk tidak menggunakan nama keluarga karena memang tidak ada keharusan untuk itu. Demikian pula kewajiban untuk menggunakan nama suami setelah menikah. Walau memang ada beberapa suku bangsa, yang mengharuskan menggunakan nama marga di akhir nama dan juga menggunakan nama marga suami/pemberian keluarga istri setelah menikah. Untuk yang terakhir ini cukup repot sebenarnya. Upacara dan konsekuensi pemberian marga kepada seseorang yang berasal dari luar suku tersebut cukup berat dan melelahkan. Itu yang saya tahu dari cerita beberapa kawan yang mengalaminya.

Karena alasan tidak ada kewajiban inilah, maka banyak wanita yang mempertahankan nama pemberian ayahnya (nama gadis) setelah menikah. Alasan lainnya bisa jadi itu salah satu cara untuk mempertahankan identitas asli agar tak hilang sehabis berganti status.

Pemikiran lainnya adalah supaya tidak repot. Salah satu ciri khas orang Indonesia kan paling anti repotisme. Bahkan salah satu mantan orang satu negeri ini saja punya kalimat pamungkas, "Gitu aja kok repot." Hehehehe..
Jadi jika seorang wanita mengganti namanya karena pernikahan, maka ada serangkaian dokumen penting pula yang perlu diubah. Belum lagi jika ternyata pernikahan mereka tidak bertahan hingga kaken ninen. Tidak terbayang uang pelicin yang harus disebar hanya untuk urusan ini. Satu tanggapan yang cukup mengena mengenai alasan ini adalah
Tanpa mengurangi rasa hormat pada the father of my son, saya rasa, a father is a father forever, but a husband will be a husband only until who knowswhen... [ine]

Walhasil, memang untuk orang Indonesia umumnya, penambahan nama keluarga menjadi tidak signifikan. Yang penting kehidupan jalan terus. Sehingga paman Shakespeare pun berujar..
"What's in a name? That which we call a roseBy any other word would smell as sweet."
--From Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)